Teacher Training (Unmuh Barru)

Navigating the Intersection: Faith, Securities, and Counterterrorism

Unmuhbarru.c.id, Barru – The world today grapples with the ever-present threat of terrorism, a complex landscape where the role of faith-based institutions (FBIs) takes on a critical and multifaceted dimension. FBIs, encompassing religious organizations, charities, and affiliated entities, occupy a unique space at the crossroads of faith, securities, and counterterrorism efforts. While they serve as cornerstones of communities, fostering social cohesion and moral values, they can also become unwitting targets or conduits for terrorist financing and activities. Navigating this complex intersection requires a nuanced understanding of the challenges and opportunities that arise, demanding collaboration and innovative approaches from governments, FBIs themselves, and the financial sector.

The landscape of terrorism has undergone a significant transformation in recent years. The rise of lone-wolf attackers and decentralized networks has made traditional methods of tracking and disrupting terrorist activities more challenging. Terrorist organizations are increasingly adept at exploiting vulnerabilities in the financial system, utilizing FBIs and charities as unwitting channels to move funds and support their operations. This exploitation stems from several factors.

FBIs often operate on a foundation of trust within their communities. Terrorist groups may seek to leverage this trust to gain access to financial resources or hide illicit activities within seemingly legitimate religious activities. In many regions where FBIs are prevalent, cash remains the primary mode of transaction. This lack of transparency makes it easier for terrorist groups to move funds undetected through informal channels. Some FBIs, particularly in developing countries, may lack the financial expertise or awareness of money laundering and terrorist financing red flags. This can make them susceptible to manipulation by terrorist organizations.

The consequences of FBIs being exploited for terrorist financing are far-reaching. It undermines public trust in these institutions, hinders their ability to deliver critical social services, and ultimately strengthens the capacity of terrorist groups to operate. Additionally, the financial risks associated with FBIs can lead to increased scrutiny and regulatory burdens, potentially hindering their legitimate fundraising activities.

Despite the vulnerabilities, FBIs also possess significant potential to be partners in countering terrorism. Their deep-rooted connections within communities enable them to serve as early warning systems, identifying potential radicalization and recruitment efforts. Religious leaders can play a vital role in promoting messages of peace, tolerance, and respect for the rule of law, countering extremist ideologies that fuel terrorism. Moreover, FBIs can provide valuable support to rehabilitation and reintegration efforts for individuals who have been involved in or are at risk of being drawn into extremist activities.

Effective navigation of this complex intersection demands a collaborative approach. Governments have a critical role to play in developing clear and tailored regulations. These regulations should be designed to strike a balance between safeguarding the financial system from terrorist financing and avoiding undue burdens on legitimate fundraising activities of FBIs. Governments can further support FBIs by providing training on financial literacy, anti-money laundering (AML) compliance, and recognizing red flags associated with terrorist financing. Regular communication and dialogue between governments and FBIs are crucial to build trust and address concerns.
The financial sector also has a role to play. Financial institutions can develop risk-based approaches that are tailored to the specific vulnerabilities of FBIs, focusing on higher-risk transactions while minimizing disruptions to legitimate activities. Financial institutions can offer training and support to FBIs on best practices for AML compliance and suspicious activity reporting.

FBIs themselves can take proactive steps to mitigate the risk of being exploited by terrorists. This includes developing strong internal controls, such as internal audits and segregation of duties, to deter and detect suspicious activity. Educating staff and volunteers on AML/Counter Financing of Terrorism (CFT) regulations and red flags can help them identify and report suspicious activity. FBIs can demonstrate transparency in their financial activities and reporting to build trust with donors and authorities.

Navigating the intersection of faith, securities, and counterterrorism requires a multi-pronged approach. By fostering collaboration between governments, FBIs, and the financial sector, along with proactive steps taken by FBIs themselves, we can mitigate the risks of terrorist financing while empowering these institutions to continue their vital role in communities. By working together, we can ensure that FBIs remain bastions of faith and social good, not unwitting instruments of terror.

Cite this article as: Ismail Suardi Wekke, "Navigating the Intersection: Faith, Securities, and Counterterrorism," in Publikasi Universitas Muhammadiyah Barru, March 30, 2024, https://publikasi.unmuhbarru.ac.id/2024/03/30/navigating-the-intersection-faith-securities-and-counterterrorism/.
Pemilu 2024 (Unmuh Barru)

Politik, Kuasa Uang, dan Modal Sosial: Jalan Menuju Kursi Parlemen

Unmuhbarru.ac.id, Yogyakarta – Pencoblosan untuk pemilihan umum 2024 usai. Perhitungan berjenjang, dan juga publikasi melalui sirekap berjalan bersisian. Begitu pula, dengan perhitungan internal. Baik di partai politik, saksi individual caleg, maupun tim sukses.

Pemilihan umum merupakan ritual politik. Sehingga ini kesempatan mempromosikan anggota legislative. Khusus untuk eksekutif di tingkatan kabupaten/kota, dan
provinsi, akan dilaksanakan dalam rangkaian pemilukada dengan pencobloan yang terjadwal di November mendatang.

Pertama-tama, sebelum tercantum dalam surat suara di tempat pemungutan suara, maka seorang caleg perlu “bersaing” secara internal. Dimana, dengan persaingan ini akan menghasilkan nomor urut.

Tidak sampai di situ saja. Ketika nantinya usai pencoblosan maka seorang caleg memiliki kemampuan untuk tetap bersaing secara internal. Paling tidak dalam dua hal yaitu suara yang lebih besar, dan menghindari dari pemecatan sebagai anggota partai. Sekalipun suara sudah terbesar di internal partai, tetapi kalau mendapatkan pemecatan. Tetap saja, tidak akan dilantik.

Peristiwa 2019 menunjukkan bahwa gugatan rekan separtai ke mahkamah partai dapat berujung pada pemecatan. Kemudian, akan berakibat gagalnya pelantikan. Ini juga menjadi tahapan perjuangan yang tidak berhenti sampai pencoblosan dan penetapan saja. Tetapi juga memastikan untuk sampai pada pelantikan.

Selanjutnya, keberadaan uang. Sebagai aktivitas politik, maka tetap saja perlu digerakkan dengan kemampuan uang. Buat bensin, pulsa, dan makan-minum selama sosialisasi dan kampanye. Begitu pula dengan baligho, dan juga keperluan untuk papan bunga ebagai ucapan selamat atau ketika kedukaan bagi kalangan kerabat, maupun konstituen.

Sekalipun bercanda, seorang warga yang dikunjungi di Palampang (Bulukumba) menyatakan bahwa “tidak ada uang, tidak ada suara”. Candaan lainnya terkait dengan “serangan fajar”. Kedua hal ini menunjukkan bahwa keberadaan politik uang sejatinya sudah menjadi bagian inheren dalam perhelatan pemilu.
Terakhir, modal sosial. Sekalipun punya partai, punya uang,tetapi kemudian uang tersebut tidak dapat distribusikan melalui jejaring sosial, tetap saja akan kandas. Sehingga diperlukan operator untuk menghubungkan jejaring satu sama lain.

Dalam kaitan dengan modal sosial ini, dapat berwujud pada organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, atau ikatan primordial lainnya. Sehingga bisa menjadi sebuah jalan untuk mengembangkan perkenalan caleg ke pelbagai kalangan secara luas.

Walaupun demikian, tidak juga dapat efektif secara tunggal. Seperti penggunaan atribut Muhammadiyah sebagai identitas untuk mengumpulkan suara. Dalam tahap awal, untuk perkenalan, memungkinkan. Hanya saja, sebagai sebuah wadah untuk mengumpulkan suara, cenderung gagal. Seperti di DPD, dari 30-an peserta yang mengatribusi dirinya dengan Muhammadiyah, hanya 4 yang “terpilih”. Terlihat dari rekapan suara di laman web KPU yang menempatkan dalam empat besar. Ini menjadi sebuah fenomena, dimana untuk identitas kemuhammadiyah, tidak dapat dijadikan sebagai atribut tunggal untuk meraih suara.

Setiap orang perlu mengembangkan cara masing-masing. Saya menyebutnya gaya onde-onde. Membuat onde-onde tidak ada rumusan tunggal. Sepanjang disebut “bulat”, maka itulah onde-onde. Begitu pula dengan “langkah” menuju kursi parlemen. Tidak ada rumusan tunggal. Sepanjang dilantik, maka itulah anggota dewan.

Cite this article as: Ismail Suardi Wekke, "Politik, Kuasa Uang, dan Modal Sosial: Jalan Menuju Kursi Parlemen," in Publikasi Universitas Muhammadiyah Barru, March 4, 2024, https://publikasi.unmuhbarru.ac.id/2024/03/04/politik-kuasa-uang-dan-modal-sosial-jalan-menuju-kursi-parlemen/.

8 Tahun SEAAM, Jejaring Akademik Asia Tenggara

Unmuhbarru.ac.id, Barru – Memasuki November 2023 menjadi dokumentasi bahwa 2016 lalu di Manado, dibentuk sebuah jejaring akademik dalam skala Asia Tenggara. 16 perguruan tinggi yang datang ke kampus IAIN Manado, kemudian menamakannya SEAAM (Southeat Asia Academic Mobility).

Cite this article as: Ismail Suardi Wekke, "8 Tahun SEAAM, Jejaring Akademik Asia Tenggara," in Publikasi Universitas Muhammadiyah Barru, November 15, 2023, https://publikasi.unmuhbarru.ac.id/2023/11/15/8-tahun-seaam-jejaring-akademik-asia-tenggara/.