Unmuhbarru.ac.id, Yogyakarta – Pencoblosan untuk pemilihan umum 2024 usai. Perhitungan berjenjang, dan juga publikasi melalui sirekap berjalan bersisian. Begitu pula, dengan perhitungan internal. Baik di partai politik, saksi individual caleg, maupun tim sukses.
Pemilihan umum merupakan ritual politik. Sehingga ini kesempatan mempromosikan anggota legislative. Khusus untuk eksekutif di tingkatan kabupaten/kota, dan
provinsi, akan dilaksanakan dalam rangkaian pemilukada dengan pencobloan yang terjadwal di November mendatang.
Pertama-tama, sebelum tercantum dalam surat suara di tempat pemungutan suara, maka seorang caleg perlu “bersaing” secara internal. Dimana, dengan persaingan ini akan menghasilkan nomor urut.
Tidak sampai di situ saja. Ketika nantinya usai pencoblosan maka seorang caleg memiliki kemampuan untuk tetap bersaing secara internal. Paling tidak dalam dua hal yaitu suara yang lebih besar, dan menghindari dari pemecatan sebagai anggota partai. Sekalipun suara sudah terbesar di internal partai, tetapi kalau mendapatkan pemecatan. Tetap saja, tidak akan dilantik.
Peristiwa 2019 menunjukkan bahwa gugatan rekan separtai ke mahkamah partai dapat berujung pada pemecatan. Kemudian, akan berakibat gagalnya pelantikan. Ini juga menjadi tahapan perjuangan yang tidak berhenti sampai pencoblosan dan penetapan saja. Tetapi juga memastikan untuk sampai pada pelantikan.
Selanjutnya, keberadaan uang. Sebagai aktivitas politik, maka tetap saja perlu digerakkan dengan kemampuan uang. Buat bensin, pulsa, dan makan-minum selama sosialisasi dan kampanye. Begitu pula dengan baligho, dan juga keperluan untuk papan bunga ebagai ucapan selamat atau ketika kedukaan bagi kalangan kerabat, maupun konstituen.
Sekalipun bercanda, seorang warga yang dikunjungi di Palampang (Bulukumba) menyatakan bahwa “tidak ada uang, tidak ada suara”. Candaan lainnya terkait dengan “serangan fajar”. Kedua hal ini menunjukkan bahwa keberadaan politik uang sejatinya sudah menjadi bagian inheren dalam perhelatan pemilu.
Terakhir, modal sosial. Sekalipun punya partai, punya uang,tetapi kemudian uang tersebut tidak dapat distribusikan melalui jejaring sosial, tetap saja akan kandas. Sehingga diperlukan operator untuk menghubungkan jejaring satu sama lain.
Dalam kaitan dengan modal sosial ini, dapat berwujud pada organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, atau ikatan primordial lainnya. Sehingga bisa menjadi sebuah jalan untuk mengembangkan perkenalan caleg ke pelbagai kalangan secara luas.
Walaupun demikian, tidak juga dapat efektif secara tunggal. Seperti penggunaan atribut Muhammadiyah sebagai identitas untuk mengumpulkan suara. Dalam tahap awal, untuk perkenalan, memungkinkan. Hanya saja, sebagai sebuah wadah untuk mengumpulkan suara, cenderung gagal. Seperti di DPD, dari 30-an peserta yang mengatribusi dirinya dengan Muhammadiyah, hanya 4 yang “terpilih”. Terlihat dari rekapan suara di laman web KPU yang menempatkan dalam empat besar. Ini menjadi sebuah fenomena, dimana untuk identitas kemuhammadiyah, tidak dapat dijadikan sebagai atribut tunggal untuk meraih suara.
Setiap orang perlu mengembangkan cara masing-masing. Saya menyebutnya gaya onde-onde. Membuat onde-onde tidak ada rumusan tunggal. Sepanjang disebut “bulat”, maka itulah onde-onde. Begitu pula dengan “langkah” menuju kursi parlemen. Tidak ada rumusan tunggal. Sepanjang dilantik, maka itulah anggota dewan.